Sabtu, 23 Januari 2010

no objeck

Halaman ke-2 dari 3


BAGAIMANA PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN PENDAPAT DIKALANGAN PARA SAHABAT, PARA IMAM, DAN ULAMA. ADAKAH TERJADI PERBEDAAN FAHAM DIKALANGAN MEREKA?
Kedua : Sebagian lain berkata, jika perselisihan dan perbedaan pendapat dalam agama dilarang, lalu bagaimana pendapat Anda terhadap perbedaan dan perselisihan pendapat di kalangan para sahabat, para imam, dan ulama-ulama sesudahnya? Adakah perbedaan antara perselisihan dan perbedaan faham yang terjadi di kalangan mereka dan di kalangan ulama-ulama mutaakhir?

Jawab : Memang ada perbedaan mendasar di antara kedua perbedaan tersebut. Hal mi dapat dikemukakan penjelasannya sebagai berikut:

1. Tentang sebab-sebabnya, dan
2. Tentang dampaknya.

Perbedaan di kalangan para sahabat terjadi karena semata-mata darurat dan merupakan hal yang naluriah dalam memahami sesuatu, bukan sebagai sesuatu yang sengaja diciptakan untuk berselisih dan berbeda pendapat. Di samping itu, ada faktor-faktor lain yang mendorong munculnya perbedaan itu pada masa mereka. Memang muncul pada mereka perbedaan pendapat, tetapi kemudian hilang.[1]. Perbedaan pendapat semacam mi memang tidak mungkin diselesaikan seluruhnya dan mereka yang berbeda pendapat ini tidaklah dapat dikatakan berbuat tercela karena menyalahi ayat-ayat di atas atau ayat lain yang semakna dengan itu, sebab mereka melakukan hal tersebut tidaklah dengan sengaja atau bermaksud mempertahankan perbedaan dan perselisihan. Oleh karena itu, para sahabat tidak dikatakan berbuat salah.

Adapun perbedaan dan perselisihan pendapat yang terjadi di kalangan kaum muqallid (pembeo imam atau ulama) pada umumnya adalah perbuatan yang tidak dapat dimaafkan. Demikianlab sebab mereka ada yang sudah mengetahui adanya keterangan dan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapat mereka, tetapi ternyata mereka menggunakan ayat-ayat itu untuk mendukung madzhabnya sendiri dan menyalahkan madzhab yang lain. Jadi, perselisihan dan perbedaan pendapat disini bukan karena dalil, tetapi karena perbedaan madzhab itu sendiri. Yang menjadi sumber perselisihan dan perbedaan adalah madzhab itu sendiri. Seakan-akan madzab mereka itulah yang benar atau merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang madzhab lainnya adalah agama-agama yang telah dihapuskan oleh madzhab mereka.

Yang lain lagi punya pendapat sebaliknya. Mereka memandang bahwa semua madzhab dengan segala macam perbedaan yang begitu banyak adalah sebagai Syari’at yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan, oleh sebagian ulama mutaakhir:[2].

“Tidak salah bila seorang muslim mengambil pendapat mana saja yang disukainya dan meninggalkan yang lain, karena semua itu ada Syari’at juga.” Mereka melestarikan perbedaan dan perselisihan pendapat yang terjadi di antara madzhab-madzhab itu dengan alasan Hadits yang bathil: “Perselisihan pendapat di umatku adalah rahmat.”

Alangkah seringnya Hadits ini kita dengar sebagai dalil mereka.

Sebagian lagi mengakui lemahnya Hadits ini, tetapi mengemukakan alasan bahwa perselisihan dan perbedaan pendapat memang merupakan rahmat, karena memperluas cakrawala umat dan memberikan kelonggaran. Alasan semacam ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut di atas dan fatwa para imam madzhab sebelumnya. Sebagian imam tersebut dengan tegas menolak, sebagaimana kata lbnul Qasim:

“Saya pernah mendengar Malik dan Laits berkata tentang terjadinya perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ujarnya:

‘Tidak seperti yang dikatakan oleh orang-orang itu. Perbedaan pendapat tidaklah memberikan kelongga ran untuk men gikuti semuanya, tetapi pendapat yang berbeda itu ada yang salah dan ada yang benar”.[3]

Asyhab berkata: “Imam Malik pernah ditanya orang berkaitan dengan seseorang yang mengambil Hadits dan orang yang kepercayaan, dan sahabat Rasulullah : ‘Apakah menurut pendapat Anda hal semacam ini sebagai suatu kelonggaran untuk mengambil semuanya?”

Jawabnya : Tidak. Demi Allah, yang diambil adalah yang benar dan yang benar itu hanya satu. Dua pendapat yang berbeda tidaklah dapat dikatakan dua-duanya benar, yang benar itu hanyalah satu.[4]

Al-Muzani, seorang murid Imam Syafi’i, berkata:

“Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda pendapat, tetapi ternyata yang satu menyalahkan yang lain dan yang satu meneliti pendapat yang lain dan memberikan penilaiannya. Sekiranya pendapat semua sahabat itu benar, tentulah mereka tidak saling mengoreksi dan menilai mana yang salah dan mana yang benar. ‘Umar bin Khathab pernah marah kepada Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud karena perbedaan mereka mengenai orang shalat yang rnenggunakan satu kain saja. Ubay mengatakan: “Shalat dengan inenggunakan satu kain saja sudah baik,” tetapi Ibnu Mas’ud berkata:
“Hal seperti itu kurang.” ‘Umar lalu keluar dengan marah seraya berkata: “Dua orang sahabat Rasulullah berselisih tentang hal yang dilihatnya dan dicontohnya dan Nabi . Di sini yang benar adalah Ubay bin Ka’ab, tetapi Ibnu Masud juga tidak ngawur. Aku tidak ingin lagi mendengar seseorang yang memperselisihkan hal ini sesudah hari di mana aku berdiri ini melainkan aku akan ambil tindakan yang demikian dan demikian kepadanya.”[5]

Imam Muzani berkata pula:

“Bila orang membenarkan adanya perbedaan pendapat dan berangggapan bahwa dua orang ulama yang melakukan ijtihad, yang satu menyatakan haram, sedangkan yang satunya mengatakan halal, lalu dikatakan kedua-duanya itu benar, apakah pendapat semacam ini didasarkan pada nash agama atau pada qiyas? Jika orang mengatakan hal itu didasarkan pada nash, kepadanya dapat ditanya lebih lanjut bagaimana hal semacam itu dikatakan berdasar kepada nash, padahal Al-Qur’an menentang adanya perselisihan pendapat. Kalau Anda menjawab dasarnya adalah qiyas, lebih lanjut dapat diajukan pertanyaan: Bagaimana dengan nash-nash yang menentang perselisihan, sedangkan Anda membolehkan adanya perselisihan pendapat berdasarkan qiyas? Sikap semacam ini jelas tidak dapat diterima oleh orang yang berakal, apalagi oleh seorang ulama.”[6]

Jika ada orang yang berpendapat bahwa kutipan Anda dan Imam Malik yang menyatakan kebenaran itu hanya satu, tidak bermacam macam, hal itu berlawanan dengan apa yang tersebut dalam buku Al-Madkhal Al Fiqhi karya Ustadz Zarqa (1/89):

“Abu Ja’far Al-Manshur, kemudian Khalifah Harun Al-Rasyid sebagai pelanjutnya, keduanya ingin sekali menjadikan madzhab Imam Malik dan Kitab AI-Muwaththa’-nya sebagai kitab undang undang pengadilan di wilayah Khalifah Abbasiyah, tetapi Imam Malik menolak kemauan kedua khalifah tersebut dan beliau mengatakan:

“Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai pendapat yang berbedabeda pada masalah furu’ dan mereka telah terpencar-pencar di berbagai negeri dan semuanya benar.’ Lalu bagaimana pendapatAnda?”

Saya jawab : Kisah dan Imam Malik ini menang sangat terkenal. Akan tetapi, ucapan beliau pacta bagian terakhir, yaitu “semuanya benar,” adalah suatu ucapan yang tidak saya ketahui asal-usul sumbernya sejauh sumber-sumber yang dapat saya ketahui.[7] Hanya ada satu riwayat sebagaimana tersebut dalam riwayat Abu Nu’aim dalam Kitab A1-HiIyah juz 6 hlm. 332. Dalam sanad riwayat ini terdapat seorang yang bernama Miqdam bm Dawud. Rawi ini termasuk salah seorang rawi yang disebutkan Imam Dzahabi dalam Kitab Adh-Dhu’afa (kumpulan rawi dha’if). Selain itu, kalimat tersebut sebenarnya berbunyi: “Semua pendapat itu menurut masing-masing adalah benar.” Di sini Imam Malik mengatakan; “Menurut masingmasing,” yang berarti bahwa apa yang disebut dalam Kitab Madkhal itu kurang, karena bagaimana mungkin ucapan itu muncul dan beliau, padahal ucapan tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat orang-orang yang terpercaya, dan Imam Malik, bahwa beliau mengatakan yang benar itu hanya satu, tidak bermacam-macam, seperti telah dijelaskan di atas. Demikianlah pendapat yang diikuti semua tokoh sahabat, tabi’in, imam madzhab empat yang ahli ijtihad, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar