Sabtu, 23 Januari 2010

Salah Paham Dan Jawabannya 4

YANG DIMAKSUD MENGIKUTI SUNNAH NABI, ADALAH SAMA SEKALI TIDAK MEMPEDULIKAN PENDAPAT, IJTIHAD IMAM MADZHAB?
Ketiga, segolongan lain beranggapan bahwa yang dimaksud dengan mengikuti Sunnah Nabi. dan tidak mengambil pendapat pendapat imam yang berlawanan dengan Sunnah beliau adalah sama sekali tidak mempedulikan pendapat mereka dan tidak memanfaatkan hasil ijtihad atau pemikiran mereka.

Saya jawab: Anggapan semacam itu sama sekali tidak benar, bahkan sama sekali bathil. Hal ini dapat dibuktikan dan keterangan keterangan di atas. Semua penjelasan yang telah dikemukakan di atas bertentangan dengan anggapan ini. Yang kami serukan ialah bahwa kita tidak boleh menjadikan madzhab sebagal agama dan menempatkannya pada kedudukan Al-Qur’an dan Sunnah dengan pengertian bahwa bila terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat, kita menjadikan madzhab-madzhab tersebut sebagai rujukan untuk mendapatkan hukum-hukum terhadap hal-hal yang baru, seperti yang dilakukan oleh ahli fiqh pada zaman sekarang. Dengan bersumber pada kitab-kitab madzhab, mereka menyusun hukum baru tentang keluarga, pernikahan, thalak, dan sebagainya, tanpa mau merujuk pada AI-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang haq dan mana yang bathil. Mereka hanya mengikuti semboyan perbedaan pendapat adalah rahmat dan mengambil mana yang ringan dan mudah atau mana yang maslahat menurut anggapan mereka. Alangkah indahnya pernyataan Sulaiman At-Taimi berikut ini:

“Kalau Anda mengambil mana yang enak saja dan setiap pendapat yang dikemukakan setiap ulama, yang Anda dapatkan adalah celakanya saja.”

Sikap semacam ini tentu kami tolak dan hal ini telah menjadi ijma’ ulama yag sejauh pengetahuanku tidak ada perselisihan di antara mereka.

Merujuk pada pendapat-pendapat mereka, memanfaatkan hasil pemikiran mereka, dan menggunakan pendapat mereka untuk menolong memahami kebenaran dalam memilih berbagai perbedaan pendapat yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau untuk memperoleh kejelasan memahami nash agama, tidaklah kami tolak, bahkan kami anjurkan dan kami suruh. Langkah semacam ini merupakan kebaikan yang diharapkan dilakukan oleh orang yang ingin menempuh petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

lbnu Abdil Barr dalam kitabnya juz II hlm. 1 72 mengatakan:

“Wahai saudaraku, hendaklah Anda menghafal dan memperhatikan sumber-sumber pokok agama. Ketahuilah, bahwa orang yang bensungguh sungguh menghafalkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukum hukum yang termaktub dalam Al-Qun’an serta pendapat-pendapat ahli fiqh, lalu menjadikannya sebagai penolong untuk melakukan ijtihad, membuka langkah untuk berpikir dan menafsirkan kalimat kalimat yang umum yang mempunyai beberapa pengertian yang ada dalam Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mau membeo kepada seseorang, dan tidak menganggap dirinya sebagai orang yang layak bersikap sebagai ulama dalam menganalisis Sunnah, mengikuti pola mereka dalam melakukan kajian, pemahaman, dan pemikiran, berterima kasih atas usaha mereka yang bermanfaat, memuji mereka karena kebenaran mereka dan begitu banyaknya pendapat-pendapat mereka, tidak menyatakan dirinya selamat dari kesalahan seperti halnya para ulama terdahulu, adalah seorang santri yang berpegang teguh pada tradisi salafush shalih. Orang semacam ini benar dalam langkahnya, terbantu dalam kelurusan berpikirnya, dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . serta petunjuk para sahabat.

Sebaliknya, orang yang berani berpendapat sendiri, menyimpang dari hal-hal yang kami sebutkan di atas, dan menentang Hadits Hadits Nabi dengan ra’yunya serta mengaku sudah mencapai kemampuan untuk benijtihad sendiri, adalah orang yang sesat Lagi menyesatkan. Orang yang tidak mengetahui semua itu dan memberikan fatwa tanpa ilmu adalah lebih buta dan lebih sesat.

“IniIah kebenaran yang tidak lagi tersembunyi. Oleh karena itu, biarkanlah aku mengikuti rambu-rambu Jalan ini.”

MENGIKUTI SUNNAH NABI, BERARTI MENYALAHI PENDIRI MADZHAB?
Keempat, di kalangan sebagian ahli taqlid tersebar luas keragu raguan yang menghalangj mereka untuk mengikuti Sunnah yang Bertentangan dengan pendapat madzhab-madzhab mereka. Mereka beranggapan bahwa mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam benarti menyalahi pendiri madzhab. Menurut mereka, hal ini berarti mencela imam mereka, padahal mencela sesama muslim tidak boleh, apalagi mencela seorang imam?

Saya jawab: Anggapan semacam ini bathil. Hal ini akibat dari sikap meninggalkan Sunnah, sebab kalau tidak karena itu, tentulah anggapan semacam itu tidak akan mungkin dikemukakan oleh seorang muslim yang berakal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

“Apabila seorang hakim yang menetapkan hukum menghukum dengan berijtihad, Ia mendapat pahala dua jika ijtihadnya benar; dan jika ijtihadnya salah, pahalanya satu.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Hiadits ini menolak anggapan mereka dan menegaskan bahwa perkataan “si fulan salah”, secara agama berarti “si fulan mendapat satu pahala”. Bila orang yang ijtihadnya salah mendapat satu pahala, lalu mengapa ada anggapan bahwa menyalahkan orang tersebut berarti mencelanya? Anggapan semacam ini tidak diragukan lagi adalah satu pandangan yang bathil yang harus ditarik kembali oleh orang yang mempunyai anggapan semacam itu, sebab kalau tidak, hal itu berarti ia telah mencela kaum muslim, bukan hanya perorangan, tetapi juga tokoh-tokoh imam mereka, baik dan kalangan sahabat, tabi’in, imam-imam mujtahid, maupun lain-lannnya. Kami berkeyakinan bahwa para tokoh tersebut juga pernah saling menyalahkan dan saling membantah[11]. Apakah seseorang yang berakal akan beranggapan bahwa hal semacam itu dapat diartikan mereka saling mencela? Bahkan tersebut dalam riwayat yang shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyalahkan Abu Bakar ketika dia menakwilkan mimpi seseorang. Beliau bersabda kepadanya:

“Engkau benar sebagian, tapi engkau salah sebagian.” [HR. Bukhari dan Muslim. Baca Ash-Shahihah, hadits No. 121]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar